Oleh : Arjuna H T M
Permasalahan yang terjadi di kalangan mahasiswa ini cenderung
semakin bertambah, terutama pada aspek psikologis. Dimulai dari mengejar
deadline, hingga tugas yang menumpuk.
Pada saat dosen menerangkan mata kuliah, tak jarang ada mahasiswa
yang tidak memperhatikan seperti mengobrol, bermain smartphone, bahkan membaca
novel. Hal tersebut menggambarkan terdapat kesalahan dalam pola pikir mahasiswa
terhadap pendidikan.
Mahasiswa selalu melahirkan pikiran-pikiran yang kritis dan
demokratis. Suara merekalah yang sering mengangkat realita sosial yang terjadi
di dalam/luar lingkungan mereka. Idealisme mahasiswa membawa banyak aspirasi
untuk diajukan kepada penguasa dengan cara mereka sendiri.
Demonstrasi yang dilakukan mahasiswa tercipta dari pikiran-pikiran
kritis mereka. Tentunya demo yang mereka lakukan bertujuan untuk membela suara
masyarakat, yang mana sudah menjadi kewajiban dari setiap mahasiswa.
Namun itu dulu, dan sekarang pemikiran kritis itu mulai hilang
ditelan sikap apatis. Tak jarang jika ada salah satu mahasiswa yang berpikir
kritis, maka akan menjadi bahan tertawaan teman-temannya. Ideologi kampus yang
meninggikan para dosen dan rektor juga seakan-akan membuat mahasiswa bungkam.
Kampuspun perlahan-lahan berubah menjadi pabrik manusia homogen
(cara pikir yang sama) dalam menyukseskan indoktrinasi kampus. Pemikiran kritis
tidak didengarkan, karena mahasiswa hanya perlu menjalankan kegiatan akademik
kampus dengan benar. Improvisasi menjadi hal yang janggal dalam dunia
perkuliahan.
Mahasiswa juga dituntut untuk unggul dalam bidang akademis,
sehingga banyak dari mereka yang melupakan untuk mengembangkan bakat alaminya.
Padahal tujuan kampus adalah menciptakan pemimpin di masa depan, bukan sebagai
penyedia stok untuk kebutuhan pasar.
Dosen-dosen juga terlihat di-dewakan bagi mahasiswa, dengan kerap
kali memberikan tugas yang cenderung di luar kemampuan seseorang. Jika ada
salah satu muridnya yang melawan/menentang, maka dosen akan mengeluarkan
senjata pamungkasnya, NILAI.
Entah nilai mahasiswa itu diturunkan atau lebih parahnya lagi
dinyatakan tidak lulus dari mata kuliah itu. Lalu sebagian mahasiswa lain yang
tidak melawan hanya bisa diam dan tunduk pada rezim dosen/kampus.
Pada akhirnya, mahasiswa akan bersifat kaku dan selalu siap
diatur/didikte. Lebih parahnya lagi, berpikir kritis di kampus dianggap oposisi
dan sering dikambing hitamkan.
Hilangnya sifat kritis dari mahasiswa juga disebabkan dari diri
mereka sendiri. Mereka cenderung lebih bersifat apatis dan hedonis daripada
berdiskusi dan menyuarakan hak. Tuntutan zaman juga tak dapat mengelakkan bahwa
mahasiswa lebih suka terlihat glamor dan bersifat hedon.
Belum lagi banyak mahasiswa yang hanya “datang dan pergi” atau
ingin cepat-cepat lulus dan mendapat pekerjaan tanpa peduli prosesnya. Padahal
hal itu sudah tidak sesuai dengan prinsip “Agent
of change”.
Tetapi kritis tak selamanya melawan, berdemo, atau menentang.
Justru kritis seharusnya membuat kita lebih peka terhadap suatu peristiwa,
tentang bagaimana kita harus bereaksi akan hal itu.
Banyak orang yang bilang bahwa demo mahasiswa selalu ditunggu oleh
masyarakat, menggambarkan bahwa mahasiswa memiliki segudang pikiran kritis dan
berani mengeluarkannya. Sudah sepantasnya mahasiswa untuk terjun ke tengah masyarakat
dan menyuarakan hak-hak mereka.
Oleh sebab itu, mahasiswa harus mengubah pola pikir dan tingkah
laku mereka. Mereka seharusnya melihat realita bangsa kita yang kerap kali
mengalami kemerosotan di berbagai bidang. Jangan sampai kita larut dalam
kemajuan zaman, tetapi perlu upaya untuk mengerti kembali peran awal mahasiswa
bagi bangsa maupun kampus. Dan mahasiswa juga tidak boleh lupa akan prinsip-prinsip
mereka bagi masyarakat. Jika semua hal itu dilakukan, maka tak menutup
kemungkinan bahwa bangsa ini akan maju di tangan mahasiswa kelak.
No comments:
Post a Comment