Cat in the Rain (Kucing Kehujanan) - Majalah Literasi Dinamis

Majalah Literasi Dinamis merupakan bagian dari Literasi Dinamis (LidiNews.com). Media Majalah Literasi Dinamis Membagikan informasi tentang Dunia Kampus dan Literasi.

Followers

Monday, March 16, 2020

Cat in the Rain (Kucing Kehujanan)

Cat in the Rain (Kucing Kehujanan)
Karya : Ernest Hemingway
Sepasang suamiā€‘istri Amerika singgah di hotel itu. Mereka tidak mengenal orangā€‘orang yang laluā€‘lalang dan berpapasan sepanjang tangga yang mereka lewati pulangā€‘pergi ke kamar mereka. Kamar mereka terletak di lantai kedua menghadap laut. Juga menghadap ke taman rakyat dan monumen perang.

Ada pohon palm besarā€‘besar dan pepohonan hijau lainnya di taman rakyat itu. Dalam cuaca yang baik biasanya ada seorang pelukis bersama papan lukisnya. Para pelukis menyukai pepohonan palm itu dan warnaā€‘warna cerah dari hotelā€‘hotel yang menghadap ke tamanā€‘taman dan laut.

Di depan monumen perang tampak iringā€‘iringan wisataĀ­wan Italia membentuk barisan membujur untuk menyaksikan monumen itu. Monumen yang tampak kemerahan dan berkilauan di bawah guyuran hujan. Saat itu sedang hujan. Air hujan menetes dari pohonā€‘pohon palm tadi. Air berkumpul membenĀ­tuk genangan di jalan berkerikil. Ombak bergulungā€‘gulung membuat garis panjang dan memecah di tepi pantai. Beberapa sepeda motor keluar dari halaman monumen. Di seberang halaman, pada pintu  masuk sebuah kedai minum, berdiri seorang pelayan memandang ke halaman yang kini kosong.

Si istri Amerika tadi berdiri di depan jendela memandang keluar. Di sebelah kanan luar jendela mereka ada seekor kucing yang sedang meringkuk di bawah tetesan air yang jatuh dari sebuah meja hijau. Kucing tadi berusaha menggulung tubuhnya rapatā€‘rapat agar tidak ketetesan air.

ā€œAku akan turun ke bawah dan mengambil kucing itu,ā€ ujar si istri.

ā€œBiar aku yang melakukannya untukmu,ā€ kata  suaminya  dari tempat tidur.

ā€œTidak, biar aku saja yang mengambilnya. Kucing malang itu berusaha mengeringkan tubuhnya di bawah sebuah meja.ā€

Si suami meneruskan bacaannya sambil berbaring bertelekan di atas dua buah bantal pada kaki ranjang.

ā€œJangan berbasahā€‘basah,ā€ ia memperingatkan.

Si istri turun ke bawah dan si pemilik hotel segera berdiri memberi hormat kepadanya begitu wanita tadi meleĀ­wati kantornya. Mejanya terletak jauh di ujung kantor. Ia seorang lakiā€‘laki tua dan sangat tinggi.

ā€œIl piove,ā€ ujar si istri. Ia menyukai pemilik hotel itu.

ā€œSi, si, Signora, brutto tempo. Cuaca sangat buruk.ā€

Ia berdiri di belakang mejanya yang jauh di ujung ruangan suram itu. Si istri menyukai pria itu. Ia suka caranya dalam memberi perhatian kepada para tamu. Ia suka pada penampilan dan sikapnya. Ia suka cara pria tadi dalam melayaninya. Ia suka bagaimana pria itu menetapi profesiĀ­nya sebagai seorang pemilik hotel. Ia pun menyukai ketuaannya, wajahnya yang keras, dan kedua belah tangannya yang besarā€‘besar.

Dengan memendam perasaan suka kepada pria itu di dalam hatinya, si  istri membuka pintu dan menengok keĀ­luar. Saat itu hujan semakin deras. Seorang lakiā€‘laki yang memakai mantel karet tanpa lengan menyeberang melewati halaman kosong tadi menuju ke kedai minum. Kucing itu mestinya ada di sebelah kanan. Mungkin binatang tadi berjalan di bawah atapā€‘atap. Ketika si istri masih termangu di pintu masuk sebuah payung terbuka di belakangnya. Ternyata orang itu adalah pelayan wanita yang mengurusi kamar mereka.

ā€œAnda jangan berbasahā€‘basah,ā€ wanita itu tersenyum, berbicara dalam bahasa Itali. Tentu pemilik hotel tadi yang menyuruhnya.

Bersama pelayan wanita yang memayunginya si istri berjalan menyusuri jalan berkerikil sampai akhirnya ia berada di bawah jendela kamar mereka. Meja itu terletak di sana, tercuci hijau cerah oleh air hujan, tapi kucing tadi sudah lenyap. Tibaā€‘tiba ia merasa kecewa. Si pelayan wanita memandanginya.

ā€œHa perduto qualque cosa, Signora?ā€

ā€œTadi ada seekor kucing,ā€ jawab si istri.

ā€œSeekor kucing?ā€

ā€œSi, il gatto.ā€

ā€œSeekor kucing?ā€ Pelayan wanita tadi tertawa. ā€œSeekor kucing di bawah guyuran hujan?ā€

ā€œYa,ā€ jawabnya, ā€œdi bawah meja ituā€. Lalu, ā€œOh, aku sangat menginginkannya. Aku ingin memiliki seekor kucing.ā€

Ketika ia berbicara dalam bahasa Inggris wajah si pelayan menegang.

ā€œMari, signora,ā€ katanya. ā€œKita harus segera kembali ke dalam. Anda akan basah nanti.ā€

ā€œMungkin juga,ā€ jawab wanita Amerika itu.

Mereka kembali melewati jalan berkerikil dan masuk melalui pintu. Si pelayan berdiri di luar untuk menutup payung. Begitu si istri lewat di depan kantor, pemilik hotel memberi hormat dari mejanya. Ada semacam perasaan sangat kecil dalam diri wanita itu. Pria tadi membuatnya menjadi sangat kecil dan pada saat yang sama juga membuatĀ­nya merasa menjadi sangat penting. Untuk saat itu si istri merasakan bahwa seolahā€‘olah dirinya menjadi begitu pentingnya. Ia menaiki tangga. Lalu membuka pintu kamar. George masih asyik membaca di atas ranjang.

ā€œApakah kau dapatkan kucing itu?ā€ tanyanya sambil meletakkan buku.

ā€œIa lenyap.ā€

ā€œKiraā€‘kira tahu kemana perginya?ā€ tanya si suami sambil memejamkan mata.

Si istri duduk di atas ranjang.

ā€œAku sangat menginginkannya,ā€ ujarnya. ā€œAku tidak tahu mengapa aku begitu menginginkannya. Aku ingin kucing malang itu. Sungguh tidak enak menjadi seekor kucing yang malang dan kehujanan di luar sana.ā€

George meneruskan membaca.

Si istri beranjak dan duduk di muka cermin pada meja hias, memandangi dirinya dengan sebuah cermin lain di tangannya. Ia menelusuri raut wajahnya, dari satu bagian ke bagian lain. Kemudian ia menelusuri kepala bagian belakang sampai ke lehernya.

ā€œMenurutmu bagaimana kalau rambutku dibiarkan panĀ­jang?ā€ tanyanya sambil menelusuri raut wajahnya kembali.

George mendongak dan memandang kuduk istrinya dari belakang, rambutnya terpotong pendek seperti lakiā€‘laki.

ā€œAku suka seperti itu.ā€

ā€œAku sudah bosan begini,ā€ kata si istri. ā€œAku  bosan kelihatan seperti lakiā€‘laki.ā€

George menaikkan tubuhnya. Ia terus memandangi istrinya semenjak wanita itu mulai berbicara tadi.

ā€œKau cantik dan bertambah manis,ā€ pujinya. Si istri meletakkan  cermin kecil dari tangannya dan berjalan menuju jendela, memandang keluar. Hari mulai gelap.

ā€œAku ingin rambutku tebal dan panjang agar bisa dikepang,ā€ katanya. ā€œAku ingin seekor kucing duduk dalam pangkuanku dan mengeong waktu kubelai.ā€

ā€œYeah?ā€ komentar George dari ranjangnya.

ā€œDan aku ingin makan di atas meja dengan piring perakku sendiri dan ada lilinā€‘lilin. Kemudian aku ingin mengurai rambutku lalu menyisirnya di muka cermin, dan aku ingin seekor kucing, dan aku ingin bajuā€‘baju baru.ā€

ā€œAh, sudahlah. Ambillah bacaan,ā€ tukas George. Lalu ia meneruskan membaca lagi.

Istrinya memandang keluar lewat jendela. Semakin gelap sekarang dan dari pohonā€‘pohon palm masih jatuh teteĀ­sanā€‘tetesan air.

ā€œBaiklah, aku ingin seekor kucing,ā€ ujar istrinya, ā€œaku ingin seekor kucing. Saat ini aku ingin seekor kucing. Seandainya aku tidak bisa memiliki rambut yang panĀ­jang atau kesenangan lainnya, aku punya seekor kucing.ā€

George tak peduli. Ia membaca bukunya. Si istri memandang keluar lewat jendela di mana lampu telah menyala di halaman.

Seseorang mengetuk pintu.

ā€œAvanti,ā€ kata George. Ia mendongak.

Di pintu masuk berdiri seorang pelayan wanita. Ia membawa sebuah boneka kucing dari kulit  kuraā€‘kura darat dan menyerahkannya ke depan.

ā€œPermisi,ā€ sapanya, ā€œpemilik hotel ini mengutus saya menyerahkan boneka ini kepada Nyonya.ā€

No comments:

Post a Comment